Tentara Israel menangisi rekan mereka yang tewas dalam operasi darat di Jalur Gaza, saat upacara pemakamannya di dewan regional Gezer Israel, 27 April 2025.
REPUBLIKA-NEWS, TEL AVIV— Setelah 20 bulan genosida di Jalur Gaza, Israel mengalami kekurangan tenaga kerja yang akut dan telah berpaling kepada wanita untuk menggantikan peran-peran kunci.
Sebelum serangan Israel ke Jalur Gaza yang terkepung, tentara wanita sebagian besar terbatas pada tugas-tugas seperti menjaga perbatasan dan menjaga pos-pos pemeriksaan di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Namun, kampanye militer yang berlarut-larut telah mendorong para wanita ke garis depan di Gaza, Lebanon, dan Suriah.
Dikutip dari Middleeastmonitor, Kamis (12/6/2025), pada Mei, militer Israel mengakui adanya kekurangan lebih dari 10 ribu tentara.
Krisis ini diperparah dengan adanya laporan bahwa lebih dari 9.000 tentara cadangan yang terlibat dalam serangan Gaza kini sedang menjalani perawatan untuk mengatasi trauma psikologis.
Laporan-laporan media Israel telah menyoroti korban perang yang berjatuhan di kalangan tentara, yang semakin membebani kapasitas militer untuk mempertahankan operasi-operasi yang berkepanjangan.
Satu dari lima tentara tempur di militer Israel sekarang dikatakan sebagai wanita dengan wanita masuk ke zona tempur yang lebih berbahaya untuk menutupi kekurangan pejuang.
Sebagai tanggapan, pemerintah Israel sekarang juga menargetkan pria Yahudi ultra-Ortodoks untuk wajib militer.
Menyusul keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan pengecualian yang sudah berlangsung lama, militer berusaha untuk mengintegrasikan demografi ini, sekitar 13 persen dari populasi, ke dalam dinas aktif.
Meskipun ada perekrutan perempuan, sebagian besar peran tempur elit tetap tidak dapat diakses oleh mereka, yang menunjukkan bahwa peningkatan kehadiran mereka dalam pertempuran merupakan langkah sementara dan bukan pergeseran sistemik.
Loading…