Makassar, 3 Juli 2025 – Dunia advokat kembali dikejutkan oleh perkembangan cepat dalam sebuah laporan pidana yang menyeret nama Wawan Nur Rewa, seorang pengacara yang tengah menjalankan tugas profesionalnya membela ahli waris dalam sengketa tanah di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar — lokasi yang kini menjadi tempat berdirinya gedung megah bernama AAS Building.
Kasus ini menyita perhatian luas, bukan karena substansi sengketanya semata, tetapi karena menyangkut prinsip dasar profesi advokat, yakni hak imunitas dalam menjalankan tugas hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat:
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar pengadilan.”
Namun, Wawan justru dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik, hanya karena memberikan pernyataan hukum ke media — bagian dari upaya advokasinya. Laporan terhadapnya didaftarkan oleh kuasa hukum yang mewakili pihak Andi Amran Sulaiman (AAS), dan proses hukumnya berlangsung sangat cepat:
- Laporan Informasi: LI/510/IV/RES.1.14/2025/Reskrim (17 April 2025)
- Laporan Polisi: LP/1125/IV/2025/Polda Sulsel/Restabes Mks (27 Juni 2025)
- Surat Perintah Penyidikan dan SPDP: Diterbitkan di hari yang sama (27 Juni 2025)
Yang membuat banyak pihak tercengang adalah bahwa semua surat ini keluar tepat di hari libur nasional, yakni 1 Muharram 1447 H. Dalam waktu sehari, laporan informasi berubah menjadi laporan polisi dan langsung ditingkatkan ke tahap penyidikan. Bahkan, SPDP sudah dikirim ke rumah Wawan.
“Saya belum pernah diperiksa sebagai terlapor. Saya hanya hadir sekali dalam klarifikasi awal. Tapi tahu-tahu langsung penyidikan,” ujar Wawan kepada media.
Kritik terhadap Ketimpangan Penegakan Hukum
Para advokat se-Sulsel yang tergabung dalam Koalisi Advokat Sulawesi Selatan melakukan aksi protes di depan Polrestabes Makassar. Mereka menuding ada upaya sistematis untuk membungkam advokat yang kritis dan menjalankan tugas konstitusionalnya. Kriminalisasi terhadap pernyataan hukum, kata mereka, adalah pelanggaran serius terhadap profesi advokat.
Beberapa kalangan akademisi bahkan menyoroti kecepatan penanganan laporan ini sebagai indikasi timpangnya perlakuan hukum.
“Mengapa laporan masyarakat umum bisa tertunda bertahun-tahun tanpa penyidikan? Tapi laporan dari pihak berpengaruh bisa ditindak begitu cepat — bahkan saat hari libur?” tulis seorang dosen hukum tata negara di akun pribadinya.
Preseden Berbahaya bagi Kebebasan Advokat
Kasus ini menjadi preseden berbahaya. Jika pernyataan hukum seorang advokat dalam rangka membela klien bisa dijadikan dasar pidana, maka hak konstitusional warga untuk memperoleh pembelaan hukum ikut terancam. Tidak ada advokat yang akan berani bersuara membela klien secara terbuka karena takut dikriminalisasi.
“Profesi advokat bukan semata profesi jasa hukum — tapi bagian dari sistem peradilan itu sendiri. Kalau dibungkam, maka penegakan hukum akan pincang,” ujar seorang praktisi senior dari Jakarta yang ikut menyoroti kasus ini.
Langkah Selanjutnya: Maju atau Melawan?
Wawan menyatakan dirinya tetap akan menghormati proses hukum, namun ia juga tengah mempertimbangkan langkah hukum balik untuk memperjuangkan kehormatan profesi dan hak imunitas yang dilindungi undang-undang.
Sementara itu, berbagai organisasi advokat tingkat nasional seperti Peradi, KAI, FAMI, dan lembaga bantuan hukum independen mulai menyusun pernyataan sikap kolektif terhadap kasus ini, sekaligus menyuarakan evaluasi terhadap mekanisme SPDP dan penyidikan yang cenderung bersifat selektif.
Penutup: Ujian Integritas Penegak Hukum
Publik masih menanti: apakah Polrestabes Makassar akan memberikan klarifikasi resmi? Apakah laporan ini benar-benar murni berdasarkan hukum atau terkesan sebagai bentuk tekanan kekuasaan? Bagaimanapun juga, kasus ini menjadi cermin tentang apa yang sedang terjadi dalam tubuh sistem hukum kita hari ini.
Jika advokat pun tidak aman, bagaimana dengan rakyat biasa.
Redaksi